Saya adalah karyawan divisi pajak. Saat ini saya sulit sekali berkonsentrasi saat melakukan pekerjaan akibat diterbitkannya PMK 22/2008. Karena perusahaan tempat saya bekerja mempunyai omset lebih dari Rp 2.4 miliar/tahun, maka untuk “Urusan Tertentu” saya tidak dapat lagi mewakili perusahaan, misalnya pada saat dilakukan pemeriksaan pajak.
Tugas saya sebagai karyawan divisi pajak sangat menyita waktu, pikiran dan tenaga. Tugas dan tanggung jawab yang saya lakukan adalah sebagai berikut, (i) memberikan pengertian kepada karyawan perusahaan tentang penting-nya dan kewajiban untuk memiliki NPWP, (ii) memberikan pengertian kepada rekanan perusahaan mengenai masalah pemotongan PPh dan lain lain kewajiban pajak yang harus dilakukan perusahaan agar sesuai dengan ketentuan pajak, serta (iii) melakukan rekonsiliasi antara laporan pajak dengan laporan akuntansi. Kemudian, kami juga menghitung, menyetorkan, dan melaporkan Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan yang menjadi kewajiban perusahaan. Saya juga aktif berinteraksi dengan Account Representative (AR) dalam memberikan data-data untuk penyusunan profile Wajib Pajak dan lain sebagainya. Dengan kata lain, saya sebagai karyawan divisi pajak sebenarnya telah memberikan kontribusi yang besar sebagai mitra dari Ditjen Pajak agar perusahaan menjalankan usaha dan melaksanakan kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perpajakan.
Akan tetapi, berdasarkan PMK 22/2008, jika perusahaan tempat saya bekerja diperiksa pajak, maka saya hanya dapat bertindak sebagai kurir alias hanya bisa mengantar data saja. Peraturan ini sungguh aneh tapi nyata. Kenapa? Apakah bisa masuk ke dalam logika para pembaca? Saya yang menghitung, menyetorkan, dan melaporkan SPM dan SPT, serta yang melakukan rekonsiliasi antara laporan pajak dan laporan akuntansi, tapi yang bisa mewakili perusahaan untuk menjelaskan atau berargumentasi ke Ditjen Pajak adalah konsultan pajak, yang notabene tidak terlibat langsung dalam penyusunan laporan pajak yang diperiksa!
Hal ini tentu saja akan menimbulkan biaya tinggi untuk membayar konsultan pajak dan dapat menimbulkan distorsi informasi jika saya harus menjelaskan dahulu kepada konsultan pajak mengenai laporan pajak yang sedang diperiksa, kemudian konsultan pajak memberikan penjelasan kepada fiskus. Distorsi informasi tersebut bisa saja informasi yang disampaikan ke pihak fiskus ada kemungkinan bertambah atau berkurang dari fakta yang sebenarnya. Bukankah kalau hal ini yang terjadi, maka konsultan pajak tersebut justru yang hanya bertindak sebagai “kurir informasi”?.
Saya teringat di hari pertama masuk kerja, Direktur Keuangan perusahaan mengingatkan saya bahwa saya diangkat sebagai karyawan agar bekerja dengan sebaik-baiknya untuk menghitung dan membayar pajak yang merupakan kewajiban perusahaan, dan jangan sampai membayar pajak yang bukan merupakan kewajiban perusahaan. Dan yang paling penting adalah bahwa untuk mengurangi beban operasional, saya hanya boleh berkonsultasi masalah pajak kepada konsultan pajak hanya jika sangat diperlukan, dan sifatnya hanya untuk konfirmasi atau mendapatkan second opinion. Sebagai karyawan saya sangat paham sekali mengenai hal ini, karena dengan merekrut karyawan divisi pajak, maka cukup dengan membayar gaji tetap setiap bulan karyawan dapat dimintakan pertolongan setiap saat. Di lain pihak, konsultan pajak untuk memberikan jasa pada umumnya mengenakan tarif berdasarkan jam yang digunakan atau per kasus tentu dapat menimbulkan beban operasional yang tinggi. Oleh karena itu, salah satu dasar penilaian untuk kenaikan gaji yang dilakukan setiap satu tahun sekali adalah seberapa besar beban konsultan pajak yang dapat saya minimalkan pembayarannya dalam setahun yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk memastikan kewajiban pajak perusahaan sudah sesuai dengan peraturan perpajakan.
Dengan semakin mudahnya dan murahnya untuk mendapatkan informasi peraturan perpajakan yang terkini dan sudah adanya AR, sebenarnya peran konsultan pajak memang hanya dibutuhkan untuk mendapatkan konfirmasi atas transaksi-transaksi yang bersifat khusus. Akan tetapi dengan diterbitkannya PMK 22/2008, tentu ini akan meningkatkan biaya konsultan pajak jika perusahaan tempat saya bekerja dilakukan pemeriksaan. Jika biaya tersebut meningkat secara significant, maka hanya ada 2 kemungkinan, yaitu,: gaji saya akan sulit naik, dan yang paling buruk adalah saya harus siap-siap angkat koper untuk ganti profesi. Hal yang paling utama yang menyebabkan saya harus siap angkat koper untuk ganti profesi adalah karena substansi dari PMK tersebut telah membawa harga diri saya sebagai karyawan divisi pajak yang menghitung, menyetorkan, dan melaporkan pajak ke “titik terendah”, yaitu hanya dapat mengantarkan data atau hanya sebagai “kurir data”. Saya berharap pembuat kebijakan, dapat meninjau kembali peraturan tersebut. Jika tidak, maka saya harus mengganti jabatan saya di kartu nama dari Tax Specialist menjadi Courier Tax Data Specialist.
Memang ada alternatif agar saya tidak menjadi “kurir data” yaitu dengan mengambil ujian sertifikasi yang diselenggarakan oleh profesi. Akan tetapi, ada hal mendasar yang menyebabkan saya dan rekan-rekan karyawan lain enggan untuk mengambil sertifikasi tersebut adalah karena kami ini sudah mempunyai ijazah dari perguruan tinggi dengan konsentrasi Akuntansi atau Perpajakan, dan itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi dasar pengetahuan perpajakan kami. Dengan demikian, tidak seharusnya kami diwajibkan untuk ikut ujian sertifikasi pajak lagi.
Saya bersama rekan-rekan karyawan pajak sadar, bahwa dalam rangka untuk mengembangkan pengetahuan perpajakan, kami memang harus mengikuti berbagai kursus perpajakan yang sesuai dengan kebutuhan kami, tetapi bukan untuk ikut ujian sertifikasi pajak seperti yang diselenggarakan saat ini, karena ujian sertifikasi tersebut memang bukan kebutuhan kami. Kebutuhan karyawan pajak adalah pelatihan pajak yang terkait dengan bidang usaha perusahaan di mana kami kerja. Sedangkan ujian sertifikasi yang diselenggarakan sekarang ini, menggunakan sistem closed book dan perhitungan teknis dengan menggunakan alat bantu hanya kalkulator untuk pengisian SPT secara manual. Padahal, dalam praktik sehari-hari kami bisa buka peraturan pajak kapan saja dan di mana saja serta menggunakan fasilitas komputer untuk mempermudah pemahaman peraturan perpajakan dan pengisian SPT. Apalagi sekarang DJP sudah menerapkan e-SPT dan banyaknya tawaran software perhitungan pajak, kenapa kami para karyawan pajak diharuskan ikut ujian yang memang seharusnya bukan ditujukan kepada kami? Kalau bisa dipermudah, kenapa harus dipersulit?
Terakhir, menurut saya yang penting yang harus dipikirkan oleh pembuat kebijakan adalah jumlah karyawan pajak lebih banyak dari pada jumlah konsultan pajak, sehingga peran serta para karyawan pajak membantu pemerintah dalam hal penerimaan APBN lebih besar dari pada peran konsultan pajak. Dan yang paling penting adalah Kualitas para karyawan divisi pajak tidak kalah dengan kualitas konsultan pajak!